Konformitas Suporter Sepakbola Indonesia


Pada tahun 2012, Indonesia  berada di posisi ke-3 sebagai suporter sepakbola paling fanatik di dunia, dilansir Firma Sport Inggris. Indonesia adalah salah satu negara yang paling banyak menelan korban jiwa antar suporter di liga sepakbola nasional mereka. Bahkan Franz Beckenbauer bersama Joseph S. Blatter (Presiden FIFA kala itu) takjub melihat aksi para suporter Indonesia baik di level klub maupun saat mendukung tim nasional. Ia mengatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai suporter terloyal di dunia, tapi sayang prestasi Timnas Indonesia tidak mampu bersaing dengan eksistensi para suporternya yang tidak diragukan lagi aksi mereka di dalam maupun di luar stadion.

Namun suporter sepakbola fanatik itu sendiri tidak akan pernah jauh dari stigma negatif. Faktor labelling, history, ekonomi, partisipasi media, dan karakter masing-masing individu dari mereka adalah embrio pembentuk perilaku suporter. Dalam konformitas kelompok suporter sepakbola kecenderungan untuk mengubah persepsi, pendapat, perilaku seseorang sehingga konsisten dalam perilaku atau norma seseorang yang masuk kedalam suatu kelompok tersebut memiliki kecenderungan untuk menyamakan persepsi, pendapat, dan perilaku seseorang terhadap kelompoknya. Karena beberapa hal itulah akhirnya suporter sepakbola mendapat stigma dari masyarakat. Lisa A. Lewis dalam bukunya yang berjudul Adoring Audience: Fan Culture and Popular Media, menyatakan bahwa, “The popular press, as well, has stigmatized fandom by emphasing danger, abnormality, and silliness.” Merujuk apa yang dikatakan oleh Lisa, nampak jelas bahwa stigma yang diperoleh suporter sepakbola juga tak terlepas dari pengaruh media yang selalu memberitakan suporter sepakbola dalam perspektif negatif yakni sebagai sesuatu yang berbahaya, menyimpang, tidak normal, anarkis, dan lainnya. Ironisnya lagi pendidikan merekapun merasa termarjinalkan. Mereka juga merasa bagian dari masyarakat yang ingin teraktualisasi. Dan disinilah mereka menjadikan stadion sebagai tempat menumpahkan permasalahan tersebut.

Rivalitas, sejarah, dan fanatisme kedaerahan sepertinya menjadi tongkat estafet bagi generasi kehidupan keras para suporter di Indonesia. Tidak ada suatu keuntungan satu pun dari beberapa tindakan brutal yang mereka lakukan baik itu di dalam/di luar stadion. Menurut beberapa komentar khalayak umum kalau suporter di negara kita itu bodoh sudah tahu sepakbola disini carut-marut tapi kok ya masih didukung saja. Waktu, harta, dan nyawa lagi taruhannya. Kalau kita mengkaji ulang dari rentetan peristiwa tersebut diambil sisi hal positifnya bicara sebagai penggemar olahraga sepakbola tentunya, saya lebih memilih sebagai suporter yang brutal di negara ini. Loh? Ya, pernah berpikir ibarat bangsa ini adalah tubuh manusia. Tidak ada yang mampu mengobati. Memotong sendiri bagian tubuh yang sakit jika memang itu jalan keluar untuk melanjutkan kehidupan yang lebih baik ya lakukan saja. Karena bagaimanapun membela daerah dimana tumpah darah kita mengalir di tanah air ini merupakan sesuatu kewajiban. Justru tindakan bodoh jika ada individu membela, mendukung, atau berkorban demi suatu tim yang disayangi di luar tanah air ini.

Tetap dukung tim lokalmu. Konsisten itu sehat. Mendukung dari hati dengan bermodalkan nyali tanpa takut intimidasi. Bravo sepakbola Indonesia!