Persebaya | Martir Revolusi Sepakbola Nusantara


Persebaya Surabaya merupakan klub beruntung di tanah air. Mempunyai suporter besar, militansi tinggi, loyal, dan kredibel. Klub dan suporter ini seperti dua mata kerambit. Tradisional dan tajam. Menyimpan daya magis, serta membahayakan siapa saja sesekali tikam. Kecintaan Bonek (red: sebutan pendukung setia Persebaya) tidak mampu ditafsirkan dengan nalar biasa. Sungguh bagi mereka, sejak didirikannya, nama Persebaya menghendaki suatu mazhab perjuangan mengungguli kebanggaan. Menjabarkan narasi segala aspek kehidupan sosial melalui simbol-simbol perlawanan dalam kondisi apapun. Antony Sutton, penulis buku "Sepakbola The Indonesian Way of Life", memberikan pandangan khusus terhadap Bonek, ketika mereka menuntut keseimbangan. Berangkat dari kampung ke kampung hingga markas besar federasi sepakbola dunia, FIFA, di Swiss. Pria asal Inggris ini memberikan apresiasi terhadap perjuangan Bonek yang selalu setia mendampingi Persebaya di dalam/luar lapangan. Aksi sedari Persebaya "dipaksa" degradasi tahun 2010, membelot dari kompetisi resmi, dualisme klub, santak dihilangkan, serta sanksi-sanksi minor turun berkelanjutan sampai saat ini.

Ketara terdapat wujud sentimen khusus sampai sekarang atas klub yang bersarang di Kota Pahlawan. Setelah nyaris empat tahun melewati masa-masa kelam, awal tahun 2017 menjadi prelude Persebaya untuk kembali berkompetisi. Sebagai klub tradisional, tentu tidak membutuhkan waktu lama untuk balik bersaing di kasta tertinggi. Dengan landasan manajemen lebih kompeten, finansial sehat, klasifikasi pemain mumpuni, dan konsisten menaja bibit-bibit pemain jempolan. Menjadikannya klise terhadap klub-klub lain. Sederhana saja bila ada juga yang ingin menunggangi hingga merobohkannya. Lebih-lebih sikap federasi, selaku operator kompetisi. Senantiasa menempa regulasi, memutar roda kompetisi, dan membenturkannya kembali. Sepakbola menjadi lebih baik hanya angan-angan belaka. Klub, suporter, atau siapapun yang membantah pretensi federasi bakal “ditinggalkan”. Hukuman di depan mata. Tak urung berupa sanksi-sanksi kapital. Menyusul tiada hentinya komisi disiplin federasi terus menggerus klub yang selalu berada di belakang Bonek. Tabiat sebagai suporter pembangkang kerap dijegal melalui keputusan-keputusan sepihak.

Sanksi tanpa sebab yang jelas, tentu tidak membentuk pembelajaran. Justru menjadikannya martir-martir kecil berkala untuk mengetuk terus ketidakadilan. Berlaku tidak hanya di kompetisi saat ini saja. Sinergi menjadi lebih baik tampak tak diinginkan bagi beberapa golongan. Selagi masih melakukan transisi yang memberatkan pihak terkait, selama itu pula Persebaya dan Bonek akan dihadapkan dengan masalah sama dan selalu menjadi sasaran utama. Sebelum menjadi pantulan terhadap klub-klub lainnya untuk turut serta. Sebab mereka tahu, terdapat pusaran serius berbahaya jika semua ini dihiraukan. Menghentikan langkah pioner untuk memutus jalan yang selalu menggemakan suara perubahan di jagat sepakbola nasional. Sebaliknya. Tuntutan revolusi sedang dan terus bergerak membuat Bonek semakin matang. Perubahan lebih baik tidak ada untung-rugi. Meski nyawa sebagai garansi. Persebaya merupakan mukjizat. Salah satu klub sepakbola yang mampu menembus suku bangsa, ras, agama, status sosial, usia, bahasa, pendidikan, dan gender. Surabaya bukan ruang tepat bagi mereka untuk menghukum kota yang begitu melawan. "Tak kan pernah ragu, tak ada kata mundur, sebab mundur adalah sebuah pengkhianatan”, pangkal lirik Suara Bonek ciptaan almarhum Oka, menjadi jawaban-jawaban atas rangkaian peristiwa.

Surabaya sulit ditakhlukan. Martir-martir kampung tentu tidak tinggal diam. Ketika melihat kota lain tunduk terhadap tirani, sampai kapanpun Surabaya tetap lantang katakan, Wani!

Foto: Arek Suroboyo